Selasa, 15 Desember 2015

Petang Menghunus

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.25 0 komentar
“astaghfirullahaladziim, cobaan apa lagi ini ya Allah...” gumamnya lirih dalam batinnya yang dikurung perih. Sementara dibalik pintu kamarnya serapah berjejalan memenuhi tiap inci ruang keluarga. Tak ada satu patah pun yang sedap didengar ataupun lega disimpan dihati.
“Astaghfirullahaladziim,” lirih, namun memantul menjadi getaran yang meruntuhkan bening diujung matanya. Paru-paru tlah disesaki udara yang belum lagi usai keluar-masuk tenggorokan. Dunia senyap, hanya helaan karbondioksida yang baru lolos dari paru-paru yang menyertai.
Betapa menjadi mutiara ditengah lumpur yang pekat itu amatlah memedihkan. Putihnya tak juga mampu mengakulturasi hitam disekitarnya. Semua tetap menjadi dirinya masing-masing yang terpisah dalam kesatuan. Hitam adalah hitam, dan putih tetaplah putih.
“Sudahlah, susah bicara dengan orang yang pandai. Seperti berbicara dengan keledai saja.” Umpatan yang serupa terus terlontar.

POHON walnut dan poplar putih

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.24 0 komentar
Kemudian dia akan membaringkan tubuhnya pada tumpukan jerami kering, kepalanya disandarkan pada kedua tangannya, tertidur, mendesah, dan berharap seluruh kehdiupannya akan menjadi tidur panjang yang nyaman, yang tak terusik oleh mimpi-mimpi dan tak pernah terhenti oleh kegelisahan.

Kita memang melebihi semua penduduk desa dalam hal kekayaan, tetapi mereka lebh mulia dibandingkan kita dalam hal jiwa; kita menabur banyak benih tapi tidak pernah memanennya, sedangkan mereka memanen apa saja dari benih yang mereka taburkan. Kita adalah budak-budak dari ambisi kita sendiri, sementara mereka adalah anak-anak dari kebahagiaan. Kita meminum obat mujarab kehiudpa yang bercampur dengan kehidupan yang pahit, keputusasaan, ketakutan dan kebosanan, sedangkan mereka meminum segala kemurnian.
Arta mencapai usia enam belas tahun dan jiwanya menjadi seperti kaca bersinar gemerlap yang mencerminkan keutamaan dari ladang-ladang yang terbukan, sementara hatinya mirip dengan ruangan kosong didalam ngarai yang menghasilkan suara gema dari segala suara. Pada musim gugur yang menggemakan desahan suara alam, dia duduk dekat telaga yang telah terbebas dari penjara bumi, seperti pemikiran-pemikiran yang berusaha tetap bebas dari imajinasi penyair.
Dia memikirkan daun-daun warna kekuningan yang bergoyang-goyang dipohon-pohon, bagaimana angin bermain-main bersama dedaunan itu, seperti bagaimana kematian bermain-main bersama dengan jiwa-jiwa manusia.

Sejak Cinta Rasulullah

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.24 1 komentar
“Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah swt – yang kemudian kita sebut agama,  atau syari’ah – dalam kehidupan manusia. Syari’ah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal.”[1] Dengan bahasa yang sederhana itulah Ustad Anis Matta mengungkapkan kehendak dakwah yang sebenarnya. Dakwah bukan semata-mata sujud dan rukuk, tapi merupakan penanaman nilai-nilai syari’at Islam dalam seluruh segi kehidupan.
Islam datang sebagai obat dalam pesakitan kaum Quraisy dan sukur Arab kebanyakan. Menyembah patung yang diukir dengan tangannya sendiri, mengubur bayi hidup-hidup hanya demi mengejar prestise di kalangannya. Lalu kalau bukan syari’at Allah siapa lagi yang mampu menyembuhkan mereka?. Dengan cinta Allah tegur para pegiat ekonomi dengan melarangkan riba atasnya, dan memerintahkan manusia berlaku adil terhadap sesama. Jika bukan Islam, agama mana lagi yang mengaturnya?.
Dan dulu hingga kini, Islam tak pernah kehilangan khasiatnya, bahkan tak berkurang barang sedikitpun. Kerusakan-kerusakan yang terjadi dimuka bumi ini tak lain disebabkan oleh sifat dan perbuatan manusia yang menduakan ketentuan Allah atas aturan buatannya sendiri.





[1] Anis Matta. Dari gerakan ke negara. (Jakarta:Fitrah Rabbani, 2006) hal.4S

Senyum Terakhir Sahabatku

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.20 0 komentar
“Deek, hape kamu bunyi tuh. Ada telepon.” Teriak uni ku yang sedang memotong cabe di dapur. Hari ini kita sepakat  masak bareng menyiapkan menu buka puasa.
“Dari siapa ni?, tolong angkatin dulu si ni.” Aku yang sedang membersihkan ayam dihalaman belakang balas berteriak.
“Gk mauu, tangan uni pedes. Ntar mata uni kena cabe. Dari Maya ni Dey.” Tahu telepon itu dari Maya, aku langsung bangkit dan meninggalkan ayamku yang sedang dumutilasi. ((heheuu)
“Yah uni, udah mati kan. Jarang-jarang lho ni Maya nelpon adek.” Aku memasang muka memelas.
“Ya mau gimana lagi, adek tau sendiri uni lagi bergelut sama cabe gini. Tinggal ditelepon balik aja lho.” Jawab uniku tak kalah memelas.
“Hehe, pinjam hape uni ya. Adek gk ada pulsa buat nelpon nih.” ...”Eh, gk jadi deng ni. Ini orangnya sms.” Dan lemparan cabe pun tepat mengenai mukaku, ah uni, masih jago men-shoot aja...
***

Sendiri Menyepi

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.20 0 komentar
Duduk sendiri menatap hamparan ladang singkong yang baru selesai ditanami. Disampingnya, pohon karet berbaris rapi seperti tentara-tentara yang tegap berdiri. Pohon-pohon sawit gagah berdiri dibelakangku.
Dalam sepi,,, aku bahkan bisa mendengar bisikan angin yang menelisik disela daun-daun. Kelepak sayap burung yang terbang rendah, semarak awan yang menggantung dilangit sore ini seakan ingin menjelaskan bahwa bola langit ini terhampar luas bagai tiada ujung.
Sesungguhnya aku tak benar-benar sendiri. Kau lihat pepohonan ang berjajar tenang memijak bumi yang tanahnya merekah karena lama tak tersentuh hujan? Kau dengar desis angin, kelepak sayap, bahkan siulan burung tekukur dipucuk pepohonan, awan-awan yang menggantung, semua bersamaku. Dan tak ayal, disana, diatas ‘Arsy yang tinggi ada Dia yang bersemayam menyaksikan gerak semesta serta polah setiap makhluk yang menghuninya.
Tapi, desis angin, gesekan daun, kelepak sayap, tentu saja bukan sesuatu yang bisa ku ajak bercakap untuk mendapat jawaban dari beribu pertanyaanku. Ahaa... untuk itulah aku duduk disini.
Ditempat yang sepi ini, aku bisa lebih banyak berpikir, merasa, merenungi semua yang telah ku lakukan. Ditempat yang sepi ini aku bisa ‘bercerita’ dengan lapang. Ditempat yang sepi ini aku bisa mengekspresikan gejolak yang tumbuh di hatiku. Rabb... temukan aku dengan kedamaian...

Senyum Terakhir Sahabatku

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.19 0 komentar
“Deek, hape kamu bunyi tuh. Ada telepon.” Teriak uni ku yang sedang memotong cabe di dapur. Hari ini kita sepakat  masak bareng menyiapkan menu buka puasa.
“Dari siapa ni?, tolong angkatin dulu si ni.” Aku yang sedang membersihkan ayam dihalaman belakang balas berteriak.
“Gk mauu, tangan uni pedes. Ntar mata uni kena cabe. Dari Maya ni Dey.” Tahu telepon itu dari Maya, aku langsung bangkit dan meninggalkan ayamku yang sedang dumutilasi. ((heheuu)
“Yah uni, udah mati kan. Jarang-jarang lho ni Maya nelpon adek.” Aku memasang muka memelas.
“Ya mau gimana lagi, adek tau sendiri uni lagi bergelut sama cabe gini. Tinggal ditelepon balik aja lho.” Jawab uniku tak kalah memelas.
“Hehe, pinjam hape uni ya. Adek gk ada pulsa buat nelpon nih.” ...”Eh, gk jadi deng ni. Ini orangnya sms.” Dan lemparan cabe pun tepat mengenai mukaku, ah uni, masih jago men-shoot aja...
***

Siapa bilang Indonesia bukan negara Islam?

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.18 0 komentar
Banyak kontroversi yang muncul ketika ada statement “Indonesia adalah Negara Islam”. Yang nasionalis banget pasti bakal mencak-mencak kalau dibilang negara yang dihuninya ini adalah negara Islam. Untuk yang golongan ini saya say “Whatever-lah”. Pun juga pasti ada yang lonjak-lonjak girang banget denger statement ini, lalu sebagian ada yang curi statementnya Yusuf Qardhawi yang bilang, “Sesungguhnya kebangkitan Islam akan berawal dari Indonesia” –yang belakangan saya dengar statement ini sudah diralat-. Untuk yang golongan kedua saya say, “Slow and calm down”.
 

Anik Winarsih Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea