“astaghfirullahaladziim, cobaan apa lagi ini
ya Allah...” gumamnya lirih dalam batinnya yang dikurung perih. Sementara
dibalik pintu kamarnya serapah berjejalan memenuhi tiap inci ruang keluarga.
Tak ada satu patah pun yang sedap didengar ataupun lega disimpan dihati.
“Astaghfirullahaladziim,” lirih, namun
memantul menjadi getaran yang meruntuhkan bening diujung matanya. Paru-paru
tlah disesaki udara yang belum lagi usai keluar-masuk tenggorokan. Dunia
senyap, hanya helaan karbondioksida yang baru lolos dari paru-paru yang
menyertai.
Betapa menjadi mutiara ditengah lumpur yang
pekat itu amatlah memedihkan. Putihnya tak juga mampu mengakulturasi hitam
disekitarnya. Semua tetap menjadi dirinya masing-masing yang terpisah dalam
kesatuan. Hitam adalah hitam, dan putih tetaplah putih.
“Sudahlah, susah bicara dengan orang yang
pandai. Seperti berbicara dengan keledai saja.” Umpatan yang serupa terus
terlontar.